Rizki Tirnando / B / SI3
Peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal
Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap warga desa
menyisihkan sebagian tanahnya (20%) atau seper lima dari tanah mereka untuk
ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman
ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditetapkan
dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak
memiliki tanah harus bekerja 66 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik
pemerintah yang menjadi semacam pajak. Bagi
pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena
antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya
hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari
30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an,
72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia
Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya,
membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda
pun mengalami surplus.
Menurut system tanam paksa ini pungutan dari rakyat
bukan lagi berupa uang namun hasil bumi yang di hasilkan oleh rakyat yang hasil
buminya berupa komoditi ekspor, setiap rakyat wajib memerikan seperlima dari
tanah mereka, bagian tanah yang di miliki pemerintah itu bebas dari pajak.
Apabila terjadi surplus dalam hasil panen warga akan di serahkan kepada kepala
desa dan akibat kegagalan panen yang di sebabkan oleh factor alam akan di
tanggung oleh pemerintah. Pekerjaan tanam paksa ini dilakukan dengan pimpinan
kepala desanya di bawah pengawasan pegawai pemerintahan. Yang sangat hakiki
dalam rencana van den bosh adalah pelaksanaan system ini menggunakan organisasi
desa namun meskipun demikian system feodal masih kokoh dalam struktur rakyat
yang mengakibatkan beberapa konflik. Program yang
dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
·
Gubernur
Jenderal Johannes van den Bosch
Johannes graaf van den
Bosch salah seorang gubenur jendral yang berkuasa di kawasan hindia belanda lahir
di Herwijnen, Lingewaal, Belanda pada tanggal 1 Februari 1780 ia pertama kali
tiba ke pulau jawa pada tahun 1797 menggunakan kapal melalui jalur laut sebagai
seorang letnan ia menjadi salah satu gubernur jendral yang berkuasa di hindia
belanda yang ke-43 van den Bosch memerintah antara tahun 1830 – 1834 pada masa kepemimpinan ialah system tanam
paksa di realisasikan karena sebelumnya hanya merupakan konsep kajian yang
dibuat untuk menambah kas pemerintah kolonial maupun negara induk Belanda yang
kehabisan dana karena peperangan di Eropa maupun daerah koloni (terutama di
Jawa dan Pulau Sumatera). van den Bosch meninggal
di Den Haag, 28 Januari 1844.
·
Aturan aturan yang berlaku pada system tanam paksa
Berikut
adalah isi dari aturan tanam paksa
a) Tuntutan kepada setiap rakyat pribumi
agar menyediakan tanah pertanian 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk
ditanami jenis tanaman perdagangan.
b) Pembebasan tanah yang disediakan
untuk pemerintah, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
c) Hasil panen wajib rakyat di serahkan
ke pemerintah kemudian di potong pajak kemudian baru di berikan ke rakyat
d) Rakyat yang tidak memiliki tanah
pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah
Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima
tahun.
e) Waktu untuk mengerjakan tanaman pada
tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau
kurang lebih 3 (tiga) bulan
f)
Kelebihan
hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
g) Kerusakan atau kerugian sebagai
akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan
terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
h) Penyerahan teknik pelaksanaan aturan
tanam paksa kepada kepala desa
·
Pelaksanaan
system tanam paksa
a)
tanah
pertanian 20% atau seperlima bagian dari tanahnya yang di ambil pemerintah
melebihi 20% atau seperlima
b)
pada
praktekya Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian bekerja di perkebunan
milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda melebihi 66
hari atau seperlima tahun
c)
pada
praktekya Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk
Culturstelsel lebih dari 3 (tiga) bulan
d)
setiap
kelebihan panen jarang di kembalikan kepada rakyat
e)
kegagalan
panen dalam bentuk apa saja di tanggung oleh rakyat
f)
rakyat
tidak memiliki waktu banyak mengerjakan lading sendiri
·
Dampak Sistem
Tanam Paksa
Dampak system tanam
paksa ini sangat luas, mendalam, serta untuk janka panjang dalam kehidupan
masyarakat pribumi. Akibat tanam paksa ini, produksi beras oleh rakyat semakin
berkurang, dan harganya pun menjadi sangat mahal dan tidak bias rakyat kecil
untuk membelinya di karenakan rakyat lebih mendahulukan pengerjaan tanamanan
dari pemerintah untuk komoditi ekspor sehingga kebun mereka sendiri tidak ter
urus. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat.
Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850 banyak rakyat yang meninggal
pada masa ini. Setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda,
akhirnya sitem tanam paksa ini di hapus pada tahun 1870, walupun untuk tanaman
kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Dampak sitem ini terdiri
dari beberapa bidang yaitu :
a)
Dalam bidang
pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman
komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya
ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu,
yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa
VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil
rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil
dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan
kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil
komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat
melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870
kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius. (di kutip dari Wikipedia
“Cultuurstelsel”)
b)
Dalam bidang
sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur
agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil
penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi
yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk
dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu
sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya,
mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk
perkembangan kehidupan penduduknya. Dan terjadinya perbedaan kelas antara para
petani dan orang Eropa , mengakibatkan terbentuknya perbedaan ras. (di kutip
dari Wikipedia “Cultuurstelsel”)
c)
Dalam bidang
ekonomi
Dengan
adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang
sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di
pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan
menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport,
sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah
kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport
bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari. Akibat lain dari adanya
tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi
penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan
bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa
pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah
pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk
tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara
dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang
dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam
pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala
desa itu sendiri. (di kutip dari Wikipedia “Cultuurstelsel”)
Daftar Pustaka
·
Wikipedia. Cultuurstelsel.
·
Kartodirdjo,
Sartono (1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka.